" Ihfa's World " (ˆ▿ˆʃƪ)♥

" Ihfa's World " (ˆ▿ˆʃƪ)♥

Sabtu, 08 Maret 2014

[ Cerpen ] Pahlawan Budaya (The Never Ending Struggle)

TUGAS AKHIR BAHASA INDONESIA
Cerpen dengan Tema
Pemuda dan Kecintaannya Terhadap Budaya Indonesia



Oleh :
Ihfah Khaerawaty Gau (XII IPA 1)
SMA NEGERI 8 BULUKUMBA




Pahlawan Budaya
(The Never Ending Struggle)

 “Mencintai, berarti kau harus siap untuk menjaga dan melindungi…”

            Gulungan awan putih itu bergerak pelan, menemani desiran pasir di jalanan berbatu yang jauh dari hiruk pikuk dan kesesakan kota. Gadis itu berdiri di sana, di sebuah pondok kecil yang hampir roboh termakan usia, memakai sebuah rok panjang berwarna biru dan baju yang dulunya adalah berwarna putih, kini telah berubah menjadi warna krem karena terlalu sering dipakai dan dicuci, serta sebuah jilbab berwarna biru. Dihadapannya beberapa anak kecil tampak serius memperhatikannya, mendengarkan dengan baik tiap kata yang keluar dari bibir tipis sang gadis.
            Naya, gadis yang penuh kesederhanaan dan sangat aktif itu adalah contoh pemuda yang sekarang semakin lenyap satu per satu tiap detiknya. Naya adalah sosok gadis yang amat mencintai budayanya. Lahir dan hidup dari sebuah keterbatasan membuatnya melangkah pasti melewati batas yang ada, ia dengan gigih belajar ke kota mengenai bahasa dan budaya Indonesia lalu kembali ke kampung halamannya, mencoba mengubah persepsi anak-anak muda di desanya, sekaligus mengajarkan mereka menjadi penerus bangsa yang baik dan berkarakter dengan selalu mencintai budaya sendiri.
            “Hei!” Penjelasan Naya terhenti ketika seorang pria datang tanpa permisi masuk ke dalam pondok dan berteriak cukup keras. Pria itu adalah tetangga barunya, seorang guru bahasa inggris di sekolah dasar tempat ia mengajar. Pria itu datang menghampirinya dengan pakaian casual dan sebuah headphone berwarna hitam yang menggantung di lehernya.
            “Ada apa lagi?” tanya Naya.
            “Disini tidak ada makanan cepat saji yah?”
            “Apa?!” ucap Naya kaget, ia hampir saja tertawa keras jika tidak mengingat dimana ia sekarang. Ada beberapa muridnya yang asyik memandangi mereka berdua. “Kau benar-benar baru pertama kali ke desa yah?” sambung Naya lagi.
            “Tentu saja! Memangnya kenapa?”
            “Disini tidak ada yang seperti itu Ray! Kalau kau ingin makan, ambil saja sayuran yang tersedia di ladang lalu masak sendiri.”
            “Damn! I’ll crazy!!!” gerutu Ray yang hanya dibalas tawa geli oleh Naya.
            ‘Dasar orang kota!’ gumam Naya dalam hati.
***
            Naya menyusuri jalan berbatu di desanya dengan langkah pelan, ia menguatkan hatinya menerima berbagai tatapan mencemooh dari orang-orang yang melihatnya. Gadis itu mengetahui dengan pasti bahwa banyak orang yang tak menyukai keberadaannya, mengingat sifatnya yang begitu peduli pada budaya Indonesia, berbeda dengan penduduk di desanya yang cenderung tak peduli, bahkan ada beberapa orang yang tanpa segan menjual beberapa aset budaya penting ke beberapa turis asing. Hal itu tentu saja membuat Naya tak tinggal diam, tapi ia masih bingung bagaimana harus menyelesaikan permasalahan ini. Berulang kali ia mencoba mendekat, namun semua orang seolah menganggapnya tak ada. Mereka seolah menutup mata dengan segala konsekuensi yang akan terjadi ke depannya.
            “Ya Allah!” teriak Naya kaget. Langkahnya tiba-tiba terhenti seketika, pupil matanya melebar kaget sekaligus tak percaya dengan apa yang terjadi dihadapannya.
            Pondok kecil yang selama ini Naya gunakan sebagai tempat belajar untuk anak-anak desa kini telah rusak. Beberapa meja dan kursi kecil tampak berhamburan kesana kemari, vas bunga dari keramik yang menghiasi mejanya kini pecah, dan poster-poster yang menempel pada  tiang-tiang pondok telah sobek menjadi beberapa bagian.
             Naya memejamkan matanya pedih, mencoba menguatkan dirinya sendiri, menahan gejolak air mata yang ingin menyembur keluar, pecah dan tak tertahankan lagi. Tapi tidak, ia tidak ingin terlihat lemah, ia harus bertahan, karena ia selalu yakin bahwa segala hal yang ia lakukan dengan baik juga akan berbuah baik. Ia selalu percaya hal itu, butuh proses dan kerja keras memang, tapi ia akan melewati semuanya dengan senyum bahagia bukan dengan tangis.
            “Kau hebat yah. Bisa bertahan dalam situasi seperti ini…” gumam Ray tepat di samping Naya. Gadis itu hanya menatap dengan kening berkerut seolah mempertanyakan sejak kapan pria itu berada disana, namun Ray hanya mengangkat bahu membalasnya.
            “Aku menganggap perkataanmu sebagai sebuah pujian.” gurau Naya sembari mengatur kembali letak kursi dan meja ke tempat semula. Yah, tekadnya sudah bulat untuk mempertahankan dan melindungi budaya Indonesia, jika ia berhenti di titik ini, maka semuanya akan sia-sia.
            “Candaanmu tidak lucu!” ucap Ray.
            “Aku memang seorang guru bukan seorang pelawak, jadi itu wajarkan. Dan kau juga lebih baik membantuku membersihkan tempat ini dibanding mengomentariku!” gerutu Naya, sedangkan Ray hanya terkekeh kecil melihat sikap gadis berumur 24 tahun itu.
            “Aku akan membantumu asal kau memasak makan siang untukku…” tawar Ray membuat Naya mendengus kesal. Pria di hadapannya itu ternyata bukanlah pria sembarangan, selain menyebalkan dan tak cinta pada budaya sendiri, ia juga sulit ditebak.
            “Baiklah, itu bukanlah hal sulit, asal kau menghabiskan makanan yang aku masak.”
            “Ok!” ucap Ray sambil menganggukkan kepala lalu mengalihkan perhatiannya ke dalam pondok yang berantakan.
***
            Ray menatap pondok yang tampak lebih baik dari sebelumnya. Barang dalam pondok memang tidak banyak, hanya beberapa meja dan kursi kecil dan lantai kotor serta beberapa barang yang berhamburan, tapi tetap saja menguras tenaga Ray. Ia tidak pernah membayangkan berada di posisi Naya sebelumnya.
            Ray bukanlah orang seperti Naya yang butuh bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu, ia hanya akan meminta kepada orang tuanya, dan setelah itu semuanya tersedia tanpa mengeluarkan keringat setetespun. Sedangkan gadis itu, ia harus hidup sendiri, mengerjakan semaunya sendiri, bahkan tempat untuk berbagi keluh kesahpun tak ada.
            “Kau lelah yah?” ucap Naya yang entah sejak kapan berada di samping Ray.
            “Tidak juga. Ini hanya pekerjaan kecil untukku.” Ray mengangkat dagu angkuh, berpura-pura kuat.
            “Kau sombong sekali! Ini makanlah. Habiskan semua, sesuai perjanjian kita.” Naya menyodorkan sebuah rantang berwarna putih ke arah Ray. Pria itu dengan cepat mengambilnya dan langsung membukanya.
            “Sepertinya enak. Selamat makan!” Ray makan dengan lahap, pria itu seolah tak pernah makan selama seminggu, dan tak mempedulikan Naya yang tekikik geli di sampingnya.
            Makanan yang ada di rantang Naya habis dalam waktu singkat, Ray tampak tersenyum senang lalu menyodorkan rantang kosong itu kepada Naya.
            “Kau suka? Ini makanan tradisional Indonesia.”
            “Tentu saja! Ini enak!” ucap Ray sambil mengangguk.
            “Baguslah…”
            “Eh, tunggu. Tapi kenapa aku merasa bau nafasku aneh yah?” tanya Ray. Pria itu mencoba menghirup bau nafasnya sendiri dengan cara menutup mulutnya dengan kedua tangan.
            “Hahaha… Tentu saja kau berbau, itu karena yang kau makan tadi pete!” tawa Naya akhirnya pecah, ia benar-benar tak percaya dengan pria dihadapannya itu. Walau menyebalkan dan sombong, pria itu sebenarnya baik hati, dan juga sedikit polos. Oh tidak, dia bukan polos, karena sebenarnya pria itu benar-benar tidak tahu!
            “Apa yang lucu? Pete itu apa? Kau harus tanggung jawab aku jadi bau seperti ini.”
            “Pete itu makanan berbentuk bulat berwarna hijau yang tadi kau makan bersama sambal terasi. Enakkan? Tapi dibalik rasanya tersimpan bau yang tak sedap, hehe.” jelas Naya masih dengan tawa.
            “Lalu aku harus apa? Aku akan bertemu dengan kepala desa sebentar.” tanya Ray panik. Ia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika ia datang dengan bau mulut seperti ini.
            “Ini, makanlah.” Naya menyodorkan beberapa butir beras ke arah Ray, membuat Ray mengerutkan keningnya bingung.
            “Beras? Dimakan? Tapi ini masih mentah.”
            “Percaya padaku. Cukup mengunyahnya saja, dan baunya akan hilang.” Akhirnya Ray mengambil beras yang ada di genggaman Naya dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Pria itu mengunyah dengan raut wajah takut seolah mengunyah sesuatu yang berbahaya, membuat Naya lagi-lagi tertawa keras. Melihat Naya tertawa dan tampak senang juga ikut membuat Ray menarik kedua sudut bibirnya ke atas, membentuk sebuah senyum menawan.
            “Sudah cukup, muntahkanlah.” ucap Naya dan tanpa menunggu waktu lagi, Ray segera memuntahkan kunyahan beras yang ada dimulutnya, kemudian mengambil segelas air yang disodorkan Naya.
            “Terima kasih. Hei, mulutku sepertinya tidak bau lagi.” ucap Ray girang, seolah baru saja mendapat hadiah besar.
            “Baiklah, aku pulang dulu. Aku akan bertemu dengan kepala desa. Bye!” Ray melangkah pergi meninggalkan Naya yang hanya duduk terdiam di tempatnya sambil menatap punggung Ray yang perlahan menjauh. Jauh di dalam hatinya, ia benar-benar senang dengan kehadiran pria itu. Selama ini di desanya, orang-orang hanya menganggap budaya bukan sebagai hal penting, padahal sebenarnya mereka tahu itu. Berbeda dengan pria itu, ia setidaknya ingin belajar mencintai Indonesia sedikit demi sedikit, walau tak pernah ia tunjukkan dengan kata-kata, tapi Naya bisa membaca keinginannya itu.
***
            Langit tampak mengeluarkan semburat jingga, menemani burung-burung camar yang kembali ke sarangnya, mencoba melindungi diri ketika dunia mulai menggelap. Naya masih berada di sekolah dasar tempat ia mengajar, ada beberapa hal penting yang tadi ia bicarakan dengan kepala sekolah mengenai lomba tari tradisional yang akan diikuti oleh murid-muridnya.
            Sekolah itu sudah lengang, Naya menaiki sepeda tuanya dengan hati-hati. Namun naas, rantainya tiba-tiba putus membuat Naya kehilangan keseimbangan dan jatuh. Naya mencoba membangunkan sepedanya sendiri dengan pelan, namun pergelangan kakinya terasa sakit dan tangannya terluka karena membentur bebatuan yang ada di jalan.
            “Kau tidak apa-apa?” tanya seseorang sambil mengulurkan tangannya, mencoba membantu Naya yang tampak kesusahan untuk berdiri.
            Naya mendongakkan kepalanya, menatap sang pemilik tangan yang rupanya adalah Ray. Pria itu  entah mengapa selalu datang saat ia membutuhkan bantuan, seperti malaikat penyelamat. Naya menerima uluran tangan Ray dan mencoba berdiri dengan sekuat tenaga, gadis itu mencoba menahan seluruh rasa sakit yang menyerang kakinya.
            “Dasar gadis kuno, jaman sekarang masih menggunakan sepeda. Aku akan mengantarmu sampai rumah dengan motor.” Ucap Ray tegas, namun Naya hanya menggeleng pelan.
            “Terima kasih Ray, tapi –“
            “Kenapa kau sangat keras kepala? Aku berniat membantumu Nay, kau tidak lihat pergelangan kakimu membiru heh?” Naya hanya menunduk tak berani membantah perkataan Ray.
            “Baiklah setidaknya biarkan aku mengobati kakimu itu.” ucap Ray mengalah membuat Naya hanya menganggukkan kepala dan duduk di sebuah batu besar dipinggiran jalan. Batu itu tepat menghadap ke sawah yang terbentang luas dan memperlihatkan semburat jingga yang muncul di langit.
            Ray memijit pergelangan kaki Naya, membuat gadis itu meringis pelan namun hanya sebentar karena setelah pria itu memijit pergelangan kakinya, rasa nyeri itu perlahan-lahan menghilang, membuat Naya berucap banyak terima kasih pada Ray yang hanya dibalas oleh pria itu dengan anggukan singkat.
            “Kenapa sampai sekarang ini kau tetap bertahan? Apa yang sebenarnya kau inginkan? Menjadi seperti inipun, pemerintah tidak akan memberikanmu sebuah penghargaan berarti.” ucap Ray seraya duduk di samping Naya. Gadis itu tersenyum tipis mendengar perkataan Ray. Benar memang, ia dengan sukarela mengajarkan banyak hal tentang budaya Indonesia pada anak-anak di desanya, tak peduli dengan segala hal.
            “Apa alasanku begitu penting untukmu? Aku hanya ingin menghargai apa yang telah dilakukan oleh pemuda terdahulu. Ketika aku sudah mengatakan bahwa aku mencintai Negara dan budaya Indonesia, maka aku juga perlu memberikan pembuktian dengan menjaga dan melindunginya.”
            Baik Naya maupun Ray sama-sama terdiam, menikmati hembusan angin sore yang menerpa tubuh mereka. Langit sore itu menjadi saksi, ketika Ray akhirnya mengenal sosok Naya yang sesungguhnya, sosok gadis tegar yang rela berjuang demi budaya dan Negara yang ia cintai.
***
            Naya menatap sendu ke arah beberapa anak yang berlatih menari. Kejadian kemarin entah mengapa membuat anak-anak semakin menjauh darinya. Kata mereka ada beberapa orang tua yang melarang mereka untuk datang dan belajar pada Naya. Bahkan diantara orang tua tersebut ada yang dengan terang-terangan memaki Naya ketika ia berjalan menuju pondok.
            “Kak Naya, aku khawatir dengan lomba tari tradisional minggu depan, apa kita bisa menang? Aku takut kita semua akan kalah lagi seperti waktu itu.” Naya tersenyum tipis mendengar pertanyaan muridnya.
            “Manusia memang tidak ada yang sempurna. Normalnya memang seperti itu. Sebab itu sudah menjadi takdir kita. Kita terkadang malas, kadang kurang peduli, penuh nafsu dan ambisi, sombong, menjadi penakut, dan kadang tidak berani berbuat sesuatu walaupun kita tahu itu benar. Kita juga tidak belajar dari kesalahan. Kita selalu menginginkan harta, kekuasaan, dan kebahagiaan tanpa mau berjuang dan berkorban, bahkan mau mencurinya dari orang lain.” ujar Naya bijak.
            Ray yang entah sejak kapan berada di pondok itu juga itu mendengarkan penuturan Naya. Kemudian gadis itu menambahkan.
            “Tapi, Tuhan telah memberikan manusia sebuah anugerah yang luar biasa. Kita memiliki kemampuan untuk belajar dan berubah. Kita bisa berbuat baik dan makin baik. Walau membutuhkan waktu bertahun-tahun, Tuhan juga pada akhirnya akan memberikan sedikit ujian untuk membuat manusia berubah demi kebaikan. Jadi anggap saja, kekalahan kita waktu lalu, adalah cara Tuhan untuk mengingatkan kita bahwa kita tidak boleh sombong. Kita sudah terlalu percaya diri akan kemampuan kita jadi kurang mempersiapkan.”
            “Lalu apa yang harus kita lakukan kak?” tanya salah seorang muridnya.
            Naya tersenyum lalu terlihat berpikir. “Minggu ini masih ada kesempatan. Kita harus berlatih seakan-akan kita tidak tahu apa-apa. Kita berlatih seakan-akan kita orang biasa yang tak pandai menari. Jangan berpikir kita adalah yang terbaik, karena itu akan membuat kita cepat puas. Ok?!”
            “OK!!!” Ke-enam murid Naya menjawab serempak dengan wajah berseri-seri.
            Ray lagi-lagi tersenyum melihat pemandangan dihadapannya. Ia kembali menemukan keunikan-keunikan Naya dibandingkan dengan gadis lain. Seharusnya gadis itu tidak perlu repot melakukan hal-hal seperti ini, seharusnya ia menghabiskan masa mudanya dengan berbelanja bersama dengan teman-teman sebayanya, tapi gadis itu berbeda, karena kecintaannya kepada budayanya.
***
            “Berhenti dan bubarkan kelompok belajar yang kau buat itu! Berhenti meracuni pikiran anak-anak kami dengan anggapan-anggapan bodoh dan tak berguna darimu!” teriak seorang wanita paruh baya ke arah Naya yang sedari tadi hanya berdiri mematung mendengar berbagai caci maki dan umpatan dari mulut warga desa.
            “Tunggu dulu! Naya tidak salah sama sekali, anggapan kalian semua itu salah. Sebenarnya –“ Ray datang membela Naya ketika tak tahan melihat Naya hanya terdiam dan tak berusaha membela diri. Tapi ucapannya terhenti ketika tangan Naya memegang lengannya, memberi isyarat agar Ray tak perlu ikut campur dan membantunya.
            “Aku bukannya ingin merusak pikiran anak-anak kalian. Aku hanya ingin membantu mereka mengenal dan mencintai budaya Indonesia sejak dini, jadi setidaknya ketika mereka beranjak dewasa, mereka tidak akan pernah lupa tentang budaya mereka. Aku mohon berikan kesempatan pada kami, kami akan membuktikan semuanya minggu depan, ketika lomba tari tradisional diadakan.”
            Dan hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Murid-murid Naya tampak tegang, membuat Naya mengusap bahu mereka satu per satu sambil menggumamkan kata ‘Semangat’ untuk membantu mereka agar tidak gugup. Beberapa menit kemudian nama mereka dipanggil untuk naik ke panggung, membuat para penonton kembali riuh.
            Tarian yang mereka lakukan adalah tari tradisional Pattenung. Sebuah tari yang memadupadankan antara gerakan tari yang indah dan gerakan wanita-wanita yang sedang menenun. Tarian itu dipersembahkan dengan gerakan indah dan irama memukau membuat banyak orang menatap kagum kepada penari-penari yang sedang asyik dengan dunianya sendiri. Seolah mereka benar-benar seorang wanita penenun yang sedang melaksanakan tugasnya menenun sebuah kain indah untuk dipersembahkan kepada para penonton. Dan ketika tarian itu selesai, ratusan penonton bertepuk tangan dengan takjub.
            Naya tidak akan pernah melupakan hari itu. Hari dimana murid-muridnya menjadi pemenang dalam lomba tari tradisional, dan hati para warga desa akhirnya luluh. Mereka dengan senang hati menerima Naya untuk mengajarkan anak-anak mereka tentang budaya Indonesia. Namun perjuangan Naya belum selesai, masih ada banyak hal yang akan ia dapati kedepannya, sebab masa depan siapa yang tahu? Yang perlu ia lakukan hanya bersyukur pada Tuhan dan tetap berusaha, sebab perjuangannya belum selesai pada titik ini.

-Tamat-















Biodata Penulis


Ihfah Khaerawaty Gau

Gadis kekanakan yang bercita-cita menjadi seorang dokter ini lahir di sebuah kota kecil bernama Bulukumba pada tanggal 29 Juni 1996. Ia telah terjun dalam dunia menulis sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Ini adalah kesekian kalinya ia mengikuti lomba cerpen. Beberapa cerita karangannya juga telah dimuat dan dibukukan dalam sebuah antologi. Untuk ke depannya Ihfah berharap bisa membukukan semua cerpen dan novel yang selama ini dibuatnya. Semua cerita karangannya didedikasikan penuh untuk Ibu tercinta Nurmiati, kepada Ayah yang telah mengispirasi Larigau, Adik tercinta Edil Kurniawan, dan teman-teman yang telah memberi warna dalam hari-harinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar