TUGAS AKHIR BAHASA INDONESIA
Cerpen dengan Tema
Pemuda dan Kecintaannya Terhadap Budaya Indonesia
Oleh :
Ihfah Khaerawaty Gau (XII IPA 1)
SMA NEGERI 8 BULUKUMBA
Pahlawan Budaya
(The Never Ending Struggle)
“Mencintai, berarti kau harus siap untuk
menjaga dan melindungi…”
Gulungan awan putih itu bergerak
pelan, menemani desiran pasir di jalanan berbatu yang jauh dari hiruk pikuk dan
kesesakan kota. Gadis itu berdiri di sana, di sebuah pondok kecil yang hampir
roboh termakan usia, memakai sebuah rok panjang berwarna biru dan baju yang
dulunya adalah berwarna putih, kini telah berubah menjadi warna krem karena
terlalu sering dipakai dan dicuci, serta sebuah jilbab berwarna biru. Dihadapannya
beberapa anak kecil tampak serius memperhatikannya, mendengarkan dengan baik
tiap kata yang keluar dari bibir tipis sang gadis.
Naya, gadis yang penuh kesederhanaan
dan sangat aktif itu adalah contoh pemuda yang sekarang semakin lenyap satu per
satu tiap detiknya. Naya adalah sosok gadis yang amat mencintai budayanya.
Lahir dan hidup dari sebuah keterbatasan membuatnya melangkah pasti melewati
batas yang ada, ia dengan gigih belajar ke kota mengenai bahasa dan budaya
Indonesia lalu kembali ke kampung halamannya, mencoba mengubah persepsi
anak-anak muda di desanya, sekaligus mengajarkan mereka menjadi penerus bangsa
yang baik dan berkarakter dengan selalu mencintai budaya sendiri.
“Hei!” Penjelasan Naya terhenti
ketika seorang pria datang tanpa permisi masuk ke dalam pondok dan berteriak
cukup keras. Pria itu adalah tetangga barunya, seorang guru bahasa inggris di
sekolah dasar tempat ia mengajar. Pria itu datang menghampirinya dengan pakaian
casual dan sebuah headphone berwarna hitam yang
menggantung di lehernya.
“Ada apa lagi?” tanya Naya.
“Disini tidak ada makanan cepat saji
yah?”
“Apa?!” ucap Naya kaget, ia hampir
saja tertawa keras jika tidak mengingat dimana ia sekarang. Ada beberapa
muridnya yang asyik memandangi mereka berdua. “Kau benar-benar baru pertama
kali ke desa yah?” sambung Naya lagi.
“Tentu saja! Memangnya kenapa?”
“Disini tidak ada yang seperti itu
Ray! Kalau kau ingin makan, ambil saja sayuran yang tersedia di ladang lalu
masak sendiri.”
“Damn!
I’ll crazy!!!” gerutu Ray yang hanya dibalas tawa geli oleh Naya.
‘Dasar
orang kota!’ gumam Naya dalam hati.
***
Naya menyusuri jalan berbatu di
desanya dengan langkah pelan, ia menguatkan hatinya menerima berbagai tatapan
mencemooh dari orang-orang yang melihatnya. Gadis itu mengetahui dengan pasti
bahwa banyak orang yang tak menyukai keberadaannya, mengingat sifatnya yang
begitu peduli pada budaya Indonesia, berbeda dengan penduduk di desanya yang
cenderung tak peduli, bahkan ada beberapa orang yang tanpa segan menjual
beberapa aset budaya penting ke beberapa turis asing. Hal itu tentu saja membuat
Naya tak tinggal diam, tapi ia masih bingung bagaimana harus menyelesaikan
permasalahan ini. Berulang kali ia mencoba mendekat, namun semua orang seolah
menganggapnya tak ada. Mereka seolah menutup mata dengan segala konsekuensi
yang akan terjadi ke depannya.
“Ya Allah!” teriak Naya kaget.
Langkahnya tiba-tiba terhenti seketika, pupil matanya melebar kaget sekaligus
tak percaya dengan apa yang terjadi dihadapannya.
Pondok kecil yang selama ini Naya
gunakan sebagai tempat belajar untuk anak-anak desa kini telah rusak. Beberapa
meja dan kursi kecil tampak berhamburan kesana kemari, vas bunga dari keramik
yang menghiasi mejanya kini pecah, dan poster-poster yang menempel pada tiang-tiang pondok telah sobek menjadi
beberapa bagian.
Naya memejamkan matanya pedih, mencoba
menguatkan dirinya sendiri, menahan gejolak air mata yang ingin menyembur
keluar, pecah dan tak tertahankan lagi. Tapi tidak, ia tidak ingin terlihat
lemah, ia harus bertahan, karena ia selalu yakin bahwa segala hal yang ia
lakukan dengan baik juga akan berbuah baik. Ia selalu percaya hal itu, butuh
proses dan kerja keras memang, tapi ia akan melewati semuanya dengan senyum
bahagia bukan dengan tangis.
“Kau hebat yah. Bisa bertahan dalam
situasi seperti ini…” gumam Ray tepat di samping Naya. Gadis itu hanya menatap
dengan kening berkerut seolah mempertanyakan sejak kapan pria itu berada
disana, namun Ray hanya mengangkat bahu membalasnya.
“Aku menganggap perkataanmu sebagai
sebuah pujian.” gurau Naya sembari mengatur kembali letak kursi dan meja ke
tempat semula. Yah, tekadnya sudah bulat untuk mempertahankan dan melindungi
budaya Indonesia, jika ia berhenti di titik ini, maka semuanya akan sia-sia.
“Candaanmu tidak lucu!” ucap Ray.
“Aku memang seorang guru bukan
seorang pelawak, jadi itu wajarkan. Dan kau juga lebih baik membantuku
membersihkan tempat ini dibanding mengomentariku!” gerutu Naya, sedangkan Ray
hanya terkekeh kecil melihat sikap gadis berumur 24 tahun itu.
“Aku akan membantumu asal kau
memasak makan siang untukku…” tawar Ray membuat Naya mendengus kesal. Pria di
hadapannya itu ternyata bukanlah pria sembarangan, selain menyebalkan dan tak
cinta pada budaya sendiri, ia juga sulit ditebak.
“Baiklah, itu bukanlah hal sulit,
asal kau menghabiskan makanan yang aku masak.”
“Ok!” ucap Ray sambil menganggukkan
kepala lalu mengalihkan perhatiannya ke dalam pondok yang berantakan.
***
Ray menatap pondok yang tampak lebih
baik dari sebelumnya. Barang dalam pondok memang tidak banyak, hanya beberapa
meja dan kursi kecil dan lantai kotor serta beberapa barang yang berhamburan,
tapi tetap saja menguras tenaga Ray. Ia tidak pernah membayangkan berada di
posisi Naya sebelumnya.
Ray bukanlah orang seperti Naya yang
butuh bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu, ia hanya akan meminta kepada
orang tuanya, dan setelah itu semuanya tersedia tanpa mengeluarkan keringat
setetespun. Sedangkan gadis itu, ia harus hidup sendiri, mengerjakan semaunya
sendiri, bahkan tempat untuk berbagi keluh kesahpun tak ada.
“Kau lelah yah?” ucap Naya yang
entah sejak kapan berada di samping Ray.
“Tidak juga. Ini hanya pekerjaan
kecil untukku.” Ray mengangkat dagu angkuh, berpura-pura kuat.
“Kau sombong sekali! Ini makanlah.
Habiskan semua, sesuai perjanjian kita.” Naya menyodorkan sebuah rantang
berwarna putih ke arah Ray. Pria itu dengan cepat mengambilnya dan langsung
membukanya.
“Sepertinya enak. Selamat makan!”
Ray makan dengan lahap, pria itu seolah tak pernah makan selama seminggu, dan
tak mempedulikan Naya yang tekikik geli di sampingnya.
Makanan yang ada di rantang Naya
habis dalam waktu singkat, Ray tampak tersenyum senang lalu menyodorkan rantang
kosong itu kepada Naya.
“Kau suka? Ini makanan tradisional
Indonesia.”
“Tentu saja! Ini enak!” ucap Ray
sambil mengangguk.
“Baguslah…”
“Eh, tunggu. Tapi kenapa aku merasa
bau nafasku aneh yah?” tanya Ray. Pria itu mencoba menghirup bau nafasnya
sendiri dengan cara menutup mulutnya dengan kedua tangan.
“Hahaha… Tentu saja kau berbau, itu
karena yang kau makan tadi pete!” tawa Naya akhirnya pecah, ia benar-benar tak
percaya dengan pria dihadapannya itu. Walau menyebalkan dan sombong, pria itu
sebenarnya baik hati, dan juga sedikit polos. Oh tidak, dia bukan polos, karena
sebenarnya pria itu benar-benar tidak tahu!
“Apa yang lucu? Pete itu apa? Kau
harus tanggung jawab aku jadi bau seperti ini.”
“Pete itu makanan berbentuk bulat
berwarna hijau yang tadi kau makan bersama sambal terasi. Enakkan? Tapi dibalik
rasanya tersimpan bau yang tak sedap, hehe.” jelas Naya masih dengan tawa.
“Lalu aku harus apa? Aku akan
bertemu dengan kepala desa sebentar.” tanya Ray panik. Ia tidak bisa
membayangkan apa yang terjadi jika ia datang dengan bau mulut seperti ini.
“Ini, makanlah.” Naya menyodorkan beberapa
butir beras ke arah Ray, membuat Ray mengerutkan keningnya bingung.
“Beras? Dimakan? Tapi ini masih
mentah.”
“Percaya padaku. Cukup mengunyahnya
saja, dan baunya akan hilang.” Akhirnya Ray mengambil beras yang ada di
genggaman Naya dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Pria itu mengunyah dengan
raut wajah takut seolah mengunyah sesuatu yang berbahaya, membuat Naya
lagi-lagi tertawa keras. Melihat Naya tertawa dan tampak senang juga ikut
membuat Ray menarik kedua sudut bibirnya ke atas, membentuk sebuah senyum
menawan.
“Sudah cukup, muntahkanlah.” ucap
Naya dan tanpa menunggu waktu lagi, Ray segera memuntahkan kunyahan beras yang
ada dimulutnya, kemudian mengambil segelas air yang disodorkan Naya.
“Terima kasih. Hei, mulutku
sepertinya tidak bau lagi.” ucap Ray girang, seolah baru saja mendapat hadiah
besar.
“Baiklah, aku pulang dulu. Aku akan
bertemu dengan kepala desa. Bye!” Ray
melangkah pergi meninggalkan Naya yang hanya duduk terdiam di tempatnya sambil
menatap punggung Ray yang perlahan menjauh. Jauh di dalam hatinya, ia
benar-benar senang dengan kehadiran pria itu. Selama ini di desanya,
orang-orang hanya menganggap budaya bukan sebagai hal penting, padahal
sebenarnya mereka tahu itu. Berbeda dengan pria itu, ia setidaknya ingin
belajar mencintai Indonesia sedikit demi sedikit, walau tak pernah ia tunjukkan
dengan kata-kata, tapi Naya bisa membaca keinginannya itu.
***
Langit tampak mengeluarkan semburat jingga, menemani
burung-burung camar yang kembali ke sarangnya, mencoba melindungi diri ketika
dunia mulai menggelap. Naya masih berada di sekolah dasar tempat ia mengajar,
ada beberapa hal penting yang tadi ia bicarakan dengan kepala sekolah mengenai
lomba tari tradisional yang akan diikuti oleh murid-muridnya.
Sekolah itu sudah lengang, Naya menaiki sepeda tuanya
dengan hati-hati. Namun naas, rantainya tiba-tiba putus membuat Naya kehilangan
keseimbangan dan jatuh. Naya mencoba membangunkan sepedanya sendiri dengan
pelan, namun pergelangan kakinya terasa sakit dan tangannya terluka karena
membentur bebatuan yang ada di jalan.
“Kau tidak apa-apa?” tanya seseorang sambil mengulurkan
tangannya, mencoba membantu Naya yang tampak kesusahan untuk berdiri.
Naya mendongakkan kepalanya, menatap sang pemilik tangan
yang rupanya adalah Ray. Pria itu entah
mengapa selalu datang saat ia membutuhkan bantuan, seperti malaikat penyelamat.
Naya menerima uluran tangan Ray dan mencoba berdiri dengan sekuat tenaga, gadis
itu mencoba menahan seluruh rasa sakit yang menyerang kakinya.
“Dasar gadis kuno, jaman sekarang masih menggunakan
sepeda. Aku akan mengantarmu sampai rumah dengan motor.” Ucap Ray tegas, namun
Naya hanya menggeleng pelan.
“Terima kasih Ray, tapi –“
“Kenapa kau sangat keras kepala? Aku berniat membantumu
Nay, kau tidak lihat pergelangan kakimu membiru heh?” Naya hanya menunduk tak
berani membantah perkataan Ray.
“Baiklah setidaknya biarkan aku mengobati kakimu itu.”
ucap Ray mengalah membuat Naya hanya menganggukkan kepala dan duduk di sebuah
batu besar dipinggiran jalan. Batu itu tepat menghadap ke sawah yang terbentang
luas dan memperlihatkan semburat jingga yang muncul di langit.
Ray memijit pergelangan kaki Naya, membuat gadis itu
meringis pelan namun hanya sebentar karena setelah pria itu memijit pergelangan
kakinya, rasa nyeri itu perlahan-lahan menghilang, membuat Naya berucap banyak
terima kasih pada Ray yang hanya dibalas oleh pria itu dengan anggukan singkat.
“Kenapa sampai sekarang ini kau tetap bertahan? Apa yang
sebenarnya kau inginkan? Menjadi seperti inipun, pemerintah tidak akan
memberikanmu sebuah penghargaan berarti.” ucap Ray seraya duduk di samping
Naya. Gadis itu tersenyum tipis mendengar perkataan Ray. Benar memang, ia
dengan sukarela mengajarkan banyak hal tentang budaya Indonesia pada anak-anak
di desanya, tak peduli dengan segala hal.
“Apa alasanku begitu penting untukmu? Aku hanya ingin menghargai
apa yang telah dilakukan oleh pemuda terdahulu. Ketika aku sudah mengatakan
bahwa aku mencintai Negara dan budaya Indonesia, maka aku juga perlu memberikan
pembuktian dengan menjaga dan melindunginya.”
Baik Naya maupun Ray sama-sama terdiam, menikmati
hembusan angin sore yang menerpa tubuh mereka. Langit sore itu menjadi saksi,
ketika Ray akhirnya mengenal sosok Naya yang sesungguhnya, sosok gadis tegar
yang rela berjuang demi budaya dan Negara yang ia cintai.
***
Naya menatap sendu ke arah beberapa
anak yang berlatih menari. Kejadian kemarin entah mengapa membuat anak-anak
semakin menjauh darinya. Kata mereka ada beberapa orang tua yang melarang
mereka untuk datang dan belajar pada Naya. Bahkan diantara orang tua tersebut
ada yang dengan terang-terangan memaki Naya ketika ia berjalan menuju pondok.
“Kak Naya, aku khawatir dengan lomba
tari tradisional minggu depan, apa kita bisa menang? Aku takut kita semua akan
kalah lagi seperti waktu itu.” Naya tersenyum tipis mendengar pertanyaan
muridnya.
“Manusia memang tidak ada yang
sempurna. Normalnya memang seperti itu. Sebab itu sudah menjadi takdir kita.
Kita terkadang malas, kadang kurang peduli, penuh nafsu dan ambisi, sombong,
menjadi penakut, dan kadang tidak berani berbuat sesuatu walaupun kita tahu itu
benar. Kita juga tidak belajar dari kesalahan. Kita selalu menginginkan harta,
kekuasaan, dan kebahagiaan tanpa mau berjuang dan berkorban, bahkan mau
mencurinya dari orang lain.” ujar Naya bijak.
Ray yang entah sejak kapan berada di
pondok itu juga itu mendengarkan penuturan Naya. Kemudian gadis itu
menambahkan.
“Tapi, Tuhan telah memberikan
manusia sebuah anugerah yang luar biasa. Kita memiliki kemampuan untuk belajar
dan berubah. Kita bisa berbuat baik dan makin baik. Walau membutuhkan waktu
bertahun-tahun, Tuhan juga pada akhirnya akan memberikan sedikit ujian untuk
membuat manusia berubah demi kebaikan. Jadi anggap saja, kekalahan kita waktu
lalu, adalah cara Tuhan untuk mengingatkan kita bahwa kita tidak boleh sombong.
Kita sudah terlalu percaya diri akan kemampuan kita jadi kurang mempersiapkan.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan
kak?” tanya salah seorang muridnya.
Naya tersenyum lalu terlihat
berpikir. “Minggu ini masih ada kesempatan. Kita harus berlatih seakan-akan
kita tidak tahu apa-apa. Kita berlatih seakan-akan kita orang biasa yang tak
pandai menari. Jangan berpikir kita adalah yang terbaik, karena itu akan
membuat kita cepat puas. Ok?!”
“OK!!!” Ke-enam murid Naya menjawab
serempak dengan wajah berseri-seri.
Ray lagi-lagi tersenyum melihat
pemandangan dihadapannya. Ia kembali menemukan keunikan-keunikan Naya
dibandingkan dengan gadis lain. Seharusnya gadis itu tidak perlu repot
melakukan hal-hal seperti ini, seharusnya ia menghabiskan masa mudanya dengan
berbelanja bersama dengan teman-teman sebayanya, tapi gadis itu berbeda, karena
kecintaannya kepada budayanya.
***
“Berhenti dan bubarkan kelompok
belajar yang kau buat itu! Berhenti meracuni pikiran anak-anak kami dengan
anggapan-anggapan bodoh dan tak berguna darimu!” teriak seorang wanita paruh
baya ke arah Naya yang sedari tadi hanya berdiri mematung mendengar berbagai
caci maki dan umpatan dari mulut warga desa.
“Tunggu dulu! Naya tidak salah sama
sekali, anggapan kalian semua itu salah. Sebenarnya –“ Ray datang membela Naya
ketika tak tahan melihat Naya hanya terdiam dan tak berusaha membela diri. Tapi
ucapannya terhenti ketika tangan Naya memegang lengannya, memberi isyarat agar
Ray tak perlu ikut campur dan membantunya.
“Aku bukannya ingin merusak pikiran
anak-anak kalian. Aku hanya ingin membantu mereka mengenal dan mencintai budaya
Indonesia sejak dini, jadi setidaknya ketika mereka beranjak dewasa, mereka
tidak akan pernah lupa tentang budaya mereka. Aku mohon berikan kesempatan pada
kami, kami akan membuktikan semuanya minggu depan, ketika lomba tari
tradisional diadakan.”
Dan hari yang ditunggu-tunggu pun
tiba. Murid-murid Naya tampak tegang, membuat Naya mengusap bahu mereka satu
per satu sambil menggumamkan kata ‘Semangat’ untuk membantu mereka agar tidak
gugup. Beberapa menit kemudian nama mereka dipanggil untuk naik ke panggung,
membuat para penonton kembali riuh.
Tarian yang mereka lakukan adalah
tari tradisional Pattenung. Sebuah
tari yang memadupadankan antara gerakan tari yang indah dan gerakan
wanita-wanita yang sedang menenun. Tarian itu dipersembahkan dengan gerakan
indah dan irama memukau membuat banyak orang menatap kagum kepada penari-penari
yang sedang asyik dengan dunianya sendiri. Seolah mereka benar-benar seorang
wanita penenun yang sedang melaksanakan tugasnya menenun sebuah kain indah
untuk dipersembahkan kepada para penonton. Dan ketika tarian itu selesai,
ratusan penonton bertepuk tangan dengan takjub.
Naya tidak akan pernah melupakan
hari itu. Hari dimana murid-muridnya menjadi pemenang dalam lomba tari
tradisional, dan hati para warga desa akhirnya luluh. Mereka dengan senang hati
menerima Naya untuk mengajarkan anak-anak mereka tentang budaya Indonesia.
Namun perjuangan Naya belum selesai, masih ada banyak hal yang akan ia dapati
kedepannya, sebab masa depan siapa yang tahu? Yang perlu ia lakukan hanya
bersyukur pada Tuhan dan tetap berusaha, sebab perjuangannya belum selesai pada
titik ini.
-Tamat-
Gadis
kekanakan yang bercita-cita menjadi seorang dokter ini lahir di sebuah kota
kecil bernama Bulukumba pada tanggal 29 Juni 1996. Ia telah terjun dalam dunia
menulis sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Ini adalah kesekian kalinya ia
mengikuti lomba cerpen. Beberapa cerita karangannya juga telah dimuat dan
dibukukan dalam sebuah antologi. Untuk ke depannya Ihfah berharap bisa
membukukan semua cerpen dan novel yang selama ini dibuatnya. Semua cerita
karangannya didedikasikan penuh untuk Ibu tercinta Nurmiati, kepada Ayah yang
telah mengispirasi Larigau, Adik tercinta Edil Kurniawan, dan teman-teman yang
telah memberi warna dalam hari-harinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar